Bunga Edelweis di Gunung Rinjani by Puji Rahayu Gunung Rinjani (3.726 mdpl) sebelum melangkah pertama, sebaiknya anda membaca catatan pe...
![]() |
Bunga Edelweis di Gunung Rinjani by Puji Rahayu |
15 Juli 2010
Tim akhirnya fixed 4 orang. Aku, Botok, sis Endo, Bogang (anak JS IKIP Negeri Malang).
Bakda Isya, kami menuju desa Bayan di kaki Rinjani, dan rencananya bermalam di rumah salah seorang rekan. Mas Anes namanya. Setelah terguncang guncang dalam mobil sewaan seharga Rp. 300.000,- (bener bener deh, lubang aja ama sopirnya disikat dan membuat tidurku yang separuh sadar tersentak), jam 22 lebih kami sampai di rumah mas Anes. Kaget dengan adanya tenda yang terpasang, rupanya akan ada peringatan 7 bulanan besok Sabtu ini. Dan sebagai salah seorang yang memiliki kemampuan ekonomi diatas rata rata masyarakat sini, acaranya adalah acara besar seperti kondangan (bilangnya seh cuman menggumpulkan keluarga).
![]() |
Perjalanan Hari Pertama menuju Puncak Rinjani |
Aku memang membawa webbing, tapi, itu adalah webbing jaman sekarang yang aku sendiri kurang yakin dengan kualitasnya. Itung itung, ada beberapa tali yang bisa dimanfaatkan dan didobel untuk lebih meyakinkan kami. Done….kita tetap lewat jalur Torean. Untunglah kami bertemu dengan Kepala Resort Senaru malam itu di rumah mas Anes, sehingga informasi tentang pendakian kami sudah diketahui.
16 Juli 2010
…Tinggalkan saja kesombonganmu disini, masuki hutan dengan kekusyukan anak telanjang, yang tidak tau apa apa tentang kehidupan….07.00 kami sudah bersiap, dengan ojeg sekitar 60 menit seharga Rp. 25.000,- per pac, jalan makadam menanjak yang kondisinya membuatku harus berpegangan pada tukang ojeg, kami menuju ke desa Torean. Kami sempat mampir melakukan ziarah keimanan (he he) dengan menyambangi sebuah masjid tua yang didirikan sekitar abad 17. Masjid Bayan Beleg namanya. Dengan atap ilalang dan lantai dari tanah, bangunan masjid lebih mirip model rumah joglo daripada rumah sasak. Ini salah satu lokasi dilakukannya ritual untuk peringatan peringatan tertentu.
![]() |
Masjid Bayan Beleg, Saksi sejarah masuknya Islam di Lombok |
Sayangnya, Torean ini phisicly sangat jauh berbeda dengan Lorien. Disini, penduduk desa hidup dalam garis sangat sederhana (klo tidak bisa dikatakan dibawah garis kemiskinan), dengan perempuan muda belasan tahun dan bayi ingusan (bener bener ingusan), mengorek ngorek tanah sementara emaknya membersihkan sayur. Ada sebuah masjid yang cukup besar, dan sebuah sekolah dasar. 2 orang laki laki local segera datang tak lama kemudian, omong omongan soal harga, deal Rp. 70.000,- per hari per orang, carrier kami segera masuk karung untuk dipikul. Ha ha ha…..
![]() |
Jalur Pendakian menuju Camp Pertama di Propog |
13.00 kami sampai di tempat untuk istirahat dan sholat dengan air yang mengucur berlimpah. Camp Berisan Nangka (Greneh) bisa digunakan untuk 2 sampai 3 tenda klo bermalam.
14.00 kami melanjutkan perjalanan dengan medan tetap. Baru jam 16.00 kami menemukan cuilan surga sedikit, sebuah air terjun setinggi 300 meter lebih ada di sisi sebelah kiri jalur kami, langsung berbatasan dengan terbing curam dan membuatku terbengong bengong menyebut asmaNya. Subhanallah…..Air terjun Penimbung, namanya, aliran airnya kehijauan, membuncah ke lembah dengan kekuatan penuh dan membuih jauh dibawah sana, kemudian menghilang kembali dalam lekukan punggungan gunung. Lokasi kami berhenti persis di bibir tebing, dengan sedikit tempat datar yang biasanya digunakan untuk upacara para pemeluk agama Hindu.
![]() |
Air Terjun Penimbung |
Aku sempet terpisah dari tim karena ingin mengejar mereka, dan akibatnya, ketika hari mulai temaram, dengan segala macam doa yang aku bisa aku terus mengejar mereka (daripada menunggu tim yang lain di belakang). Suara air sungai kencang terdengar….untung langit masih menyisakan warna ‘blue hours’…membantuku tanpa senter menemukan jalan. Akhirnya pukul 18.00 aku mencapai camp Propog.
![]() |
Camp Propog - Rinjani Mataram |
Mereka tiba hampir jam 19.00…gelap sempurna sudah datang. Namun, taburan bintang seperti pecahan manik manik berserakan di langit. Api unggun yang kami buat menari nari diantara bebatuan. Suara air sungai menggemuruh dalam kegelapan. Bulan sabitMu perlahan bersembunyi di balik punggungan, menyisakan kerinduanku yang membuncah pelan. Segelas kopi susu dalam belantara, mengikat kami sebagai saudara dalam perjalanan hidup.
Setelah makan dan berganti pakaian, kami menyusup di balik sleeping bag, meluruskan punggung dan mengistirahatkan raga dari beban siang.
17 Juli 2010
Suara beker sholat subuh dari beberapa ha pe masih kami cuekin karena sepertinya belum cukup mata tertutup. Alhasil, kami sholat subuh di kala samar kegelapan tersingkap, dan dengan malu pura pura gak tau jam berapa sebenarnya. Makan pagi menu sereal, mie dan sayur…plus martabak cornet modifikasi.
09.00 kami siap melanjutkan perjalanan menuju Segara Anakan. Jalur curam segera menyambut kami, untunglah kami masih dalam kondisi 100%. Sebelah kiri kami jurang terjal, kanan tebing hampir tegak lurus, dan kami harus menyisir sekitar 2 punggungan dengan rata rat kemiringan 45 derajat untuk mencapai lokasi danau. Medan berupa padang rumput setinggi hampir tubuhku. Angin mulai terdengar menderu deru dari lembah di bawah sana, Langit biru sempurna. Aku memejamkan mata di bawah sinar matahari, membiarkan angin menghantam tubuhku, membiarkan telingaku dibuai oleh suara menderu dan menghirup dalam dalam aroma ilalang.
![]() |
Jalur Pendakian menuju Segara Anakan |
![]() |
Berendam Air Hangat |
![]() |
Jalan menuju Goa Susu |
![]() |
Segara Anakan - Rinjani |
Segara Anakan luas membentang. Di sebelah kiri, puncak Rinjani berdiri gagah. Di depan kami, anak gunung Rinjani tumbuh dan membuat kepundan yang samar samar mengalirkan asap tipis (menurut informasi, tahun lalu belum ada kepundannya). Kabut perlahan sudah menutupi pandangan, dan dengan cepat hilang terbawa angin lembah kembali.
Sore hari ketika aku sedang leyeh leyeh setengah terpejam, aku dengar suara gemerutuk seperti suara baling baling pesawat Fokker, dan aku langsung meloncat karena mendengar teriakan dari tenda sebelah, “kamera…kamera…” Anak gunung Rinjani di tengah danau memuntahkan asap letusan yang segera membuatku berlari masuk tenda untuk mengambil kamera.
![]() |
Anak Rinjani yang sedang memuntahkan letusannya |
![]() |
Perjalanan Menuju Pelawangan |
18 Juli 2010
Aku sudah berkoar koar di hari untuk membuat semua orang melek, tapi dingin air membuat wudlu saja ingin dilakukan dengan tayammum. Halahhhhh….air seluas lembah persis di depan mata kok mau tayammum. Alhasil, kami baru benar benar siap melanjutkan perjalanan jam 08.00. Rencana perjalanan turun gunung kami adalah melewati Jalur Senaru. Puncak masih memanggil manggil di belakangku, tapi kuikhlaskan karena dari awal aku tidak memiliki cukup waktu menyentuhnya (Kalau saja staminaku masih seperti pendaki beneran…ahhh…sudahlah, some other day I’ll come again, insya Allah).
![]() |
Perjalanan Meninggalkan Segara Anakan |
09.45 separo jalur terlewati, dan aku mencapai Batu Ceper. Konon ada makam keramat disini, tapi aku tidak bisa menemukannya. Angin masih mendominasi suara di sekelilingku. Edelweis kuncupnya malu malu tersebar diantara bebatuan, menghiasi punggungan dengan anggun dan tegar. Ilalang terus berayun terhempas angin, lentur saja hampir menyentuh tanah, kemudian tegak kembali. Ah…kekuatan ilalang. Ia bisa tumbuh bahkan di tempat dimana pohon lain tak mampu menancapkan akar. Ia bisa menghadapi badai dengan kepasrahan total untuk kemudian kembali berdiri, ia bisa bertahan menahan panas matahari, dan tidak tercerabut oleh hujan.
Dari batu Ceper ini, hampir separo danau kelihatan. Dan itu sangat menakjubkan. Aku semakin bersemangat menapak jalan karena ingin menyaksikan bagaimana mataku merekamnya nanti di Plawangan. Dua tebing cukup berbahaya terlewati, sampai akhirnya pukul 11.45 aku tiba di Plawangan. Dua orang rekan yang jalan duluan sudah mengoceh karena lambatnya aku berjalan. Tentu saja aku memakai alasan mengambil spot sebagai bahan menghindar kenapa aku lelet pagi ini (dan itu benarrrrrrr, he he he).
Sekitar 30 menit aku mengabadikan Segara Anakan dari Plawangan. Subhanallah.......danau berwarna zamrud...dalam bentangan langit yang membiru, padang rumput dibawahku, puncak Rinjani yang menjulang, Anak Rinjani yang mengepulkan asap tipis, awan yang berarak perlahan....Dadaku sesak, nafasku tercekat....sebuah perasaan yang selalu kurasakan kala aku tak mampu menyatakan betapa keindahan itu mewarnai hidupku. Ya Allah....ya Allah....betapa aku merasa aniaya karena masih juga mendholimi diri sementara cintaMu nyaris terlupakan. Kupejamkan mataku dan kubiarkan memori ini merasuk...sebelum akhirnya aku harus turun.
Perjalanan turun kami berlangsung secepat kami mampu melakukannya...hutan tropis kering tetap mendominasi sampai kami tiba di pos III, pos II, pos I dan akhirnya Pintu Resort Senaru, jam 19.00 hari itu.
Perasaanku seperti tertinggal di belakang Kehidupanku menanti untuk kulanjutkanTerima kasih kepada :
Beloved Mom, yang membiarkan aku gak pulang
Sis Ineng dan Sis Nana, yang menampung kami selama di Mataram
Botok, Sis Endo dan kang Bogang, tim solid yang diantara kesibukannya menemaniku merambah hutan
Kang Porter, yang membuatku merasa seperti turis dengan tidak membawa beban
Brader Yulius Bungkang, yang mbelain menjemput malam malam....
Love you All, may Allah blessed you all....
COMMENTS