Pendakian di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat
Minggu terakhir sebelum bulan puasa saya bersama tiga teman April, Puji, dan Sofie memutuskan untuk mendaki Papandayan, gunung di Kabupaten Garut ini sangat mengganggu pikiran saya, teman-teman yang sudah sampai kesana mengatakan indahnya bak Surga diatas gunung, rasa penasaran itu memaksa saya segera mengunjunginya sebelum puasa kemarin.
Berangkat dengan menggunakan angkutan umum dari terminal kampung Rambutan, suasana pendakian sudah mulai terasa di pintu keluar terminal ini, ratusan pelancong dengan carrier besar bertebaran di warung-warung dan di trotoar, mereka ada yang mau ke Papandayan seperti kami, ada yang mau ke Cikurai, ada juga yang ke Gunung Gede.
Dengan menggunakan Bus, kami meninggalkan terminal Kampung Rambutan sekira pukul 11 malam, tengah malam begini bus yang kami tumpangi susah payah menembus kemacetan tol Cikampek, sampai sampai harus memakai bahu jalan. Subuh kami baru tiba di terminal Garut, lalu kami menuju masjid di lingkungan terminal untuk sholat subuh. Ada pemandangan yang menarik perhatian saya di masjid ini, para pendaki, atau saya menyebutnya pelancong, mendominasi ruangan dan teras Masjid, selesai sholat sebagian besar mereka tidak langsung meninggalkan Masjid tetapi ada yang tidur di teras, atau sekedar duduk duduk istirahat, merapikan packing, bahkan ada yang memotong sayur-sayuran dan menyiapkan bumbu masak, mungkin untuk persiapan bekal camping mereka.
Kami mendahului mereka meninggalkan terminal, naik angkot menuju Cisurupan, kami harus berangkat lebih awal untuk berbelanja di Cisurupan sebagai perbekalan konsumsi selama pendakian dan camping nanti. Pagi itu, meskipun sinar matahari sudah menyapa tapi udara masih lumayan dingin, hingga kami harus mengenakan baju hangat, lalu kami sarapan disini menyiapkan energy untuk pendakian nanti.
Mobil bak terbuka adalah satu satunya pilihan menuju kaki Gunung Papandayan, bersama sama dengan pelancong lainnya kami berangkat menelusuri jalan aspal yang sempit, menanjak dan banyak lubang disana sini, Gunung Papandayan di satu sisi, dan Gunung Cikurai disisi lain nampak tenang dan anggun. Sesekali sekumpulan anak anak dipinggir jalan meneriaki kami dengan kata domba..domba…, bagi mereka, mungkin hanya domba yang layak naik mobil bak terbuka. Lucu sekali… yang penting kami menikmatinya.
Tiba dikaki gunung Papandayan, aku melihat sudah banyak mobil parkir disana, tempat parkir disini cukup luas, dan dikelilingi warung. Udara sudah terasa dingin, pagi itu di satu sisi beberapa tenda masih berdiri, rupanya mereka tiba dari hari kemarin dan memang berniat menginap disini untuk melakukan pendakian hari ini. Memandang ke arah gunung Papandayan, menara kontrol di sebelah kiri dan dikejauhan asap putih mengepul bergerak ke atas, itu pasti dari kawah Papandayan. Ada perasaan menggebu untuk segera tiba disana.
Sambil mengurus perijinan untuk memasuki kawasan Papandayan, aku melihat beberapa tenda di antara pohon pohon dan penghuninya yang masih bermalas-malasan di sisi lain lahan parkir ini, mereka mungkin baru bangun tidur, mereka mungkin tiba disini sore kemarin untuk mulai pendakian pagi ini.
Kami segera mulai perjalanan melintasi jalan menanjak, dipenuhi batu batu gunung warna putih, ada bekas-bekas aspal disana, sepertinya aspalnya sudah terkelupas tergerus air dan tinggal fondasi yang terdiri dari batu batu putih tadi. Nafas mulai tersengal dan kaki mulai terasa berat, karena jalanan yang menanjak, landai tapi terus menanjak. Beberapa rombongan di depan dan belakang kami sepertinya mengalami nasib yang sama, kami berjalan agak lamban. Didepan sudah nampak punggungan bukit yang menyemburkan asap, kawah Papandayan tidak persis dipuncaknya, tapi di bukit yang menghadap kearah lahan parkir, sehingga pemandangan itu cukup membuat kita penasaran untuk segera sampai disana.
Terus mendaki melintasi bebatuan, warna putih mendominasi lintasan menuju kawah Papandayan, sampai tiba di sisi kawah, kami mencari tempat yang nyaman untuk sekedar istirahat dan menikmati kawah. Meskipun matahari cukup terik saat itu, tapi udaranya sungguh sejuk, tenang nyaris tak ada hembusan angin sehingga asap yang keluar dari bumi itu bergerak perlahan dan anggun keatas, diiringi suara nyaring mendesis seperti halnya suara air mendidih dari teko di rumah kita, bau belerang tidak begitu menyengat sehingga kami tidak perlu mengenakan masker.
Memandangi kawah dari bibirnya, merasakan aroma belerang yang ringan, mendengarkan suara nyaring desis kawah yang keluar akibat dorongan panas dari perut bumi, bermandi matahari dan elusan sejuk udara Papandayan, nikmat apalagi yang tidak bisa kita syukuri ?, Thanks God, cuaca hari ini sangat mendukung, kami benar benar termanjakan dan kami betah berlama lama disini.
Kembali mendaki, keringat mengucur lagi dan nafas kembali tersengal, Pondok Selada Camping Ground adalah tujuan kami, terus mendaki sampai menemukan lintasan yang agak landai dan kami menemui areal yang luas, batu dan tanahnya putih, diatasnya berdiri pohon pohon dengan batang dan ranting hitam, tak ada daun, orang-orang menyebutnya Hutan mati, ada pula yang memberi julukan Black forestt, terbentuk akibat letusan tahun 2003, awan panas yang menyembur dari kawah Papandayan menyebabkan semua kehidupan disini mati, dan hingga kini areal yang terkena dampak awan panas ini belum lagi pulih seperti sediakala, berbeda dengan Merapi yang aku kunjungi satu tahun lalu, 2 tahun pasca letusan, areal sekitar Merapi tak lebih dari dua tahun kemudian kembali menghijau.
Jangan ditanya betapa menakjubkannya lukisan alam ini… tak heran kawan-kawan bilang, mengunjungi papandayan bak melihat surga, tapi teman sependakian bilang “tenang Mas besok kita lihat surga yang lebih keren, tegal alun” dan aku tertegun, keindahan apalagi yang akan tersaji di Papandayan ?…
Terus menembus hutan mati, batang dan ranting pohon berserakan di tanah, menjadi arang, hitam bekas terbakar. Sampai dibatas hutan mati kami melintasi hutan yang ditumbuhi tanaman endemic , pohon Cantingan, cabangnya rapat, daunnya kecil dan lebat, sehingga kelihatan rimbun. Tak lama kemudian Pondok Selada sudah didepan mata, adalah sebuah areal terbuka yang cukup luas, dekat sumber air, sangat ideal untuk mendirikan tenda, tapi sayang tenda-tenda sudah sangat banyak memenuhi areal ini, kamipun mencari tempat agak jauh diluar camping ground.
Dua buah tenda, dipayungi flying sheet, diantara pohon pohon Cantingan yang rimbun, cukup ideal, lalu kami menggelar matras, menyiapkan Trangia, dan bahan makanan. Kali ini acaranya memasak untuk makan siang, sekaligus persiapan makan malam nanti dan sarapan esok pagi sebelum pendakian ke Tegal Alun.
Tak terasa, hari sudah mulai gelap, dan sekali lagi acara makan-makan. Malam itu kami gagal membuat api unggun, mungkin karena tak ada ranting yang benar-benar kering, semua basah karena hujan di hari sebelumnya. Dan kami menyalakan senter semalaman untuk penerangan. Malam ini udara sangat cerah, tak ada awan yang menghalangi langit, bintang-gemintang berserak memenuhi langit, indah, sangat indah… tak akan kita temui indahnya langit malam seperti ini di Jakarta, bintang-bintang ramai berkedip seolah bicara satu sama lain, luar biasa indahnya…
Jam 12 malam kami baru beranjak tidur masuk ketenda dan menyusup ke dalam sleeping bag, dingin diluar tak lagi tertahankan meskipun berjaket rangkap, memakai kerpus atau penutup kepala, serta bersarung tangan, jari-jari tangan terasa kaku untuk digerakkan, bahkan untuk sekedar menggunakan camera. Jam 3 pagi aku sudah terbangun dan sulit sekali untuk tidur nyenyak, dingin masih terasa menusuk meskipun sudah dibungkus sleeping bag, pagi itu kami keluar tenda ketika matahari sudah cerah menyapa, dan dingin masih membuat badan terasa kaku.
Kami berkemas dan membawa bekal makanan untuk nanti sarapan di Tegal Alun, tenda dan perlengkapan lain kami tinggal supaya tidak terlalu membebani pendakian. Aku lihat rombongan pendaki lain juga telah berkemas, bahkan ada yang sudah lebih dulu meninggalkan Pondok Selada menuju Sorga berikutnya, Tegal Alun. Semua rombongan bergerak menuju black forest untuk selanjutnya mendaki menuju Tegal Alun. Tapi kami memilih jalur lain, jalur extrim, mengikuti aliran air langsung menuju keatas menembus hutan Cantingan, sampai menemukan sungai kering berbatu dan curam. Kami terus merambat mendaki batu batu besar, ketika aku istirahat melihat ke bawah, Pondok Selada nampak indah, dengan tenda warna warni bertebaran disana.
Kami terus mendaki batu batu kali, beruntung tidak sedang hujan, bisa dibayangkan jika hujan tentu air bah akan menghanyutkan kami. Akhirnya kami sampai di lembah yang cukup lebar dan panjang, kiri kanan adalah bukit yang rimbun dengan pohon cantingan, sementara dasar lembah dipenuhi oleh edelweiss, sang bunga abadi nan cantik, tanaman yang masuk dalam kategori “endangered species” dan tentu saja dilindungi sebagai tanaman langka. Kami terus berjalan menelusuri lembah mengikuti rimbunan edelweiss, hingga tiba di ujung lembah dan mendaki bukit yang rimbun oleh Cantingan, dibalik bukit inilah Tegal Alun berada. Ketika tiba dipuncaknya aku melihat dikejauhan sebuah dataran luas yang gersang dilatar belakangi asap dari kawah Papandayan, oh itu dia Black Forest…
Kami berbelok kekiri dan menuruni bukit menembus hutan cantingan, sampai dibatas hutan tiba-tiba terhampar padang rumput yang luas dengan beberapa rimbunan edelweiss diatasnya, serta genangan air disisi yang lain seperti layaknya danau yang tenang dengan air yang jernih, suasana yang sungguh kontras dari hutan lebat, lembab dan gelap tiba tiba berubah menjadi dunia yang terang benderang dengan pemandangan alam yang hijau, bersih, indah…
Kami lanjutkan berjalan kaki melintasi hamparan tanah dan rumput, dikejauhan nampak rimbunan hijau, pasti itu edelweiss, itulah Tegal Alun, lautan edelweiss yang indah menakjubkan … kami terus mendekat menuju tepinya berteduh dibatas hutan dan menyiapkan sarapan setengah makan siang sambil memandangi lautan edelweiss. Tak salah teman teman menyebutnya sorga berikutnya setelah Black forest. Ribuan edelweiss ini semoga tetap abadi dan tak ada tangan jahil yang mengganggunya supaya semua yang berkunjung kesini bisa menikmati keindahannya.
Matahari sudah diatas kepala ketika kami meninggalkan Tegal Alun, menembus hutan Cantingan dan terus menuruni lembah menuju black forest, menyaksikan hamparan hutan mati dari atas sini nuansanya benar benar berbeda dibanding ketika kami melintasinya kemarin, sajian pemandangannya pun berbeda, tiba ditengah-tengah black forest dikelilingi oleh pohon-pohon kering tanpa daun, tinggal batangnya yang hitam bekas terbakar memberi sensasi yang berbeda, serasa bukan di Indonesia, tapi ini sungguh-sungguh Indonesia-ku yang indah, sekali lagi kami berlama-lama disini, dan mengabadikan momen yang special ini dengan camera.
Siang itu, kami kembali ke pondok selada untuk membongkar tenda dan packing, siap-siap kembali ke Jakarta untuk memikirkan perjalanan berikutnya, Indonesia indah mana lagi yang akan kami pilih untuk dikunjungi…
foto dan artikel oleh: Muhammad Afif
COMMENTS